Wto Sport – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan program tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan oleh industri rokok seharusnya adalah pengendalian produk yang baik, bukan berbentuk donasi.
“CSR industri rokok, sesungguhnya adalah pengendalian produk, bukan donasi. Itu bukan CSR, itu filantropi,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi saat ditemui di Jakarta, Rabu.
Tulus menilai adanya upaya filantropi yang dilakukan oleh perusahaan rokok merupakan strategi intervensi industri rokok untuk menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap industri rokok.
Menurut dia, berbagai upaya filantropi yang dilakukan oleh industri rokok merupakan sebuah anomali yang beredar luas di masyarakat, di mana suatu hal yang baik dilakukan oleh produsen barang yang tidak baik.
Karenanya, Tulus mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beserta sejumlah pemangku kepentingan terkait untuk segera merealisasikan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksana Undang-Undang Kesehatan (RPP Kesehatan), yang juga memuat peraturan terkait iklan dan sponsor yang melibatkan industri rokok.
“(Masyarakat) kita masih mengandalkan iklan dan sponsor dari produk yang bersifat adiktif, padahal harusnya gak ada produk adiktif yang diiklankan, karena tanpa diiklankan pun pasti laku,” ujarnya.
Meskipun rokok adalah produk legal, Tulus menilai rokok merupakan produk yang abnormal, sehingga dengan membatasi iklan dan sponsor yang berasal dari industri rokok, maka diharapkan hal tersebut akan mampu mengurangi prevalensi perokok di Indonesia.
Hal tersebut senada dengan target nasional dalam menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 ke 8,7 persen pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024.
Dia menyebutkan adanya peraturan yang melarang industri rokok untuk beriklan dan menjadi sponsor juga tidak serta merta langsung membuat konsumen rokok menjadi turun. Ia menganalogikan rokok dengan narkoba, yang sama-sama mengakibatkan ketergantungan.
“Narkoba yang ilegal saja masih laku, orang masih cari-cari, apalagi sudah adiktif, legal, dan ada UU-nya (yang melindungi), pasti akan semakin kuat (penjualannya),” tuturnya.*