Wto Sport – Direktur Utama PT Araputra Fortuna Perkasa (AFP) Thamrin Anwar mengklarifikasi bahwa pemeriksaannya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi di PT Amarta Karya (Persero) telah rampung dan tidak ada pemeriksaan lanjutan.
“Saya diberi tahu sudah tidak diperiksa lagi karena dokumen pendukung yang saya berikan sudah clear semua,” kata Thamrin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Thamrin dipanggil KPK untuk klarifikasi terkait dengan salah satu transaksi dengan PT Araputra Fortuna Perkasa.
Dalam pemeriksaan tersebut, dia membawa semua dokumen lengkap terkait dengan transaksi tersebut,
Menurut pengakuannya, sudah diserahkan seluruhnya ke KPK.
“Saya hanya diperiksa oleh KPK selama kurang lebih 1 jam saja. Semua dokumen pendukung sudah saya kasih ke KPK dan sudah clean and clear,” ujarnya.
Pada akhir pemeriksaan, kata Thamrin, penyidik KPK menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap dirinya sudah cukup karena semua data yang diberikan sudah cukup jelas.
Ia juga mengaku KPK berterima kasih kepadanya atas penyerahan data dan dokumen-dokumen tersebut.
Lebih lanjut Thamrin memandang perlu memberikan klarifikasi lantaran pemberitaan pada tanggal 15 Februari 2023 di beberapa media.
Saat itu, Thamrin diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pada PT Amarta Karya (BUMN) pada tahun anggaran 2018—2020.
Ada tiga saksi lainnya yang turut diperiksa pada jadwal yang sama, yakni Project Manager PT Amarta Karya (Persero) Anderson Hario, Asisten Direktur Operasi Bidang Pemasaran PT Amarta Karya Reinaldi, dan Staf Corporate Secretary PT Amarta Karya Derry.
“Ternyata ada beberapa media memberitakan peristiwa itu, tetapi belum ada klarifikasi lebih lanjut. Oleh karena itu, saya merasa harus menyampaikan klarifikasi terkait dengan kelanjutan hal tersebut,” kata Thamrin.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif di PT Amarta Karya pada tahun 2018—2020, yakni mantan Direktur Utama Catur Prabowo (CP) dan mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna (TS).
Kasus tersebut, ungkap penyidik lembaga antirasuah, berawal pada tahun 2017. Saat itu, tersangka Trisna menerima perintah dari Catur Prabowo yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PT Amarta Karya.
Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya untuk mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya dengan sumber dana yang berasal dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.
Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif.
Pada tahun 2018, dibentuk beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan TS.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, tersangka CP selalu memberikan disposisi “lanjutkan” dibarengi dengan persetujuan surat perintah membayar (SPM) yang ditandatangani tersangka TS.
Buku rekening bank, kartu ATM, dan bonggol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan CP dan TS untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP.
Uang yang diterima tersangka CP dan TS kemudian diduga, antara lain, digunakan untuk bayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf, dan pemberian kepada beberapa pihak terkait lainnya.
Perbuatan kedua tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar.
Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.