Wto Sport – Lembaga audit internasional Ernst & Young (EY) menyampaikan laporan terbarunya mengenai masalah nonfinansial yang menjadi hambatan utama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, khususnya untuk mengembangkan pembangkit tenaga surya dan angin skala utilitas.
“Investor dan pemberi pinjaman tertarik pada pasar energi terbarukan Indonesia dan siap mengembangkan proyek dan berinvestasi. Namun ketergantungan pada pembangkit bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan yang menyebabkan kelebihan pasokan listrik yang sangat besar di jaringan utama Jawa-Madura-Bali menghambat implementasi energi terbarukan,“ kata Energy Transition and Climate Partner EY, Gilles Pascual.
Dalam Media Briefing and Report Launch: Understanding Barriers to Financing Solar and Wind Energy Projectsin Asia yang digelar secara daring di Jakarta, Kamis, Gilles menjelaskan laporan tersebut mengambil data dari 170 konsultasi dengan pengembang, pemberi pinjaman, investor, asosiasi industri, dan Foreign Direct Investment (FDI) di sembilan negara di Asia yang dianalisis, termasuk Indonesia.
Menurut penelitian ini, alih-alih mempermasalahkan pendanaan, investor yang tertarik untuk berinvestasi di energi terbarukan menghadapi kurangnya proyek yang layak karena ada hambatan dalam kebijakan dan proses.
“Para pemangku kepentingan itu menyebut kurangnya penggunaan energi terbarukan utamanya akibat tidak memadainya kerangka kebijakan dan investasi di negara-negara tersebut. Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka tidak memerlukan lebih banyak uang, melainkan memerlukan kerangka kebijakan dan investasi yang disederhanakan dan diperbaiki,” ungkap Gilles.
Secara rinci, hambatan khusus yang diidentifikasi untuk Indonesia meliputi pertumbuhan sektor tenaga surya dan angin yang sebagian besar masih bergantung pada pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU), juga kurangnya kejelasan peraturan pengadaan dan prosedur lelang. Selain itu, tarif negosiasi yang rendah mempengaruhi bankability perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).
Adapun rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi hambatan tersebut diantaranya diperlukan sinyal kebijakan yang kuat dan penghentian penggunaan batu bara secara tepat waktu untuk menarik minat pasar. Selanjutnya, mendirikan badan khusus untuk memperlancar proses pengadaan tanah dan mengembangkan model PPA untuk mengurangi jadwal negosiasi.
“Untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan jaringan listrik yang permintaannya belum terpenuhi, apalagi ketika energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang menggunakan diesel atau bahan bakar fosil lainnya. Sedangkan untuk jaringan listrik utama di Jawa Bali, merancang solusi untuk memungkinkan penghentian dini pembangkit bahan bakar fosil adalah suatu keharusan agar pasar energi terbarukan dapat berkembang pesat,” ungkap Gilles.
Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang punya potensi peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada 2030.
Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah, yang telah memicu minat besar terhadap potensi pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai di Indonesia, bersama dengan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Filipina.
Senior Electricity Policy Analyst EMBER South East Asia Dinita Setyawati, dalam kesempatan yang sama, mengungkapkan hasil analisisnya terhadap kebijakan pengembangan EBT di lima negara ASEAN bahwa kawasan Asia Tenggara akan terus mendorong pertumbuhan energi bersih dengan dukungan kebijakan meski masih terhalang sejumlah tantangan.
“Dukungan kebijakan memang sudah diberikan untuk pembangkit surya dan angin, tapi pemerintah perlu melakukan yang lebih lagi,” kata Dini.