Wto Sport – Indonesia dan Korea Selatan, meskipun sesama negara kekuatan menengah, mempunyai posisi berbeda dalam merespons konflik antara Israel dan kelompok Hamas Palestina di Jalur Gaza.
Menurut dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra, Indonesia bisa lebih vokal menyuarakan isu Palestina dan mengecam agresi Israel karena Jakarta tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
“Tetapi negara lain, seperti Korea Selatan, tidak memiliki privilese itu, jadi mereka harus menyeimbangkan posisi mereka di tengah situasi yang rumit ini,” kata Radityo dalam lokakarya yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, pada Jumat.
Jika ditelusuri lebih jauh, kata dia, sepanjang sejarah Indonesia juga telah tegas menunjukkan keberpihakannya kepada Palestina sehingga dapat lebih leluasa menentang tindakan Israel.
Namun, Radityo berpendapat kecaman terhadap Israel saja tidak cukup untuk mengubah situasi di Gaza atau membantu warga yang terdampak perang di daerah kantong Palestina tersebut.
Karena itu, sebagai kekuatan menengah, Indonesia harus menjalankan strategi multilateralisme dengan terus menyuarakan isu ini di forum PBB.
“Kita mungkin bisa berdebat tentang seberapa efektif peran Majelis Umum PBB dalam (menyelesaikan) isu ini, tetapi Indonesia telah mendorong banyak resolusi dan solusi terbaik untuk Gaza,” tutur Radityo.
Sementara itu, Asisten Profesor Jurusan Studi Lintas Budaya dan Kawasan University of Copenhagen Jin Sangpil menyebut Korea Selatan berada dalam posisi yang sulit dalam menyikapi isu Gaza.
Sebagai sekutu AS, menurut dia, maka Korea harus ikut menjaga hubungan dekat dengan Israel, tetapi pada saat bersamaan Seoul juga bergantung pada negara-negara Timur Tengah untuk pasokan minyak dan gas.
“Jadi menurut saya strategi yang dijalankan pemerintah Korea Selatan saat ini adalah berhati-hati merespons isu yang sensitif ini. Karena jika Korea Selatan terlalu tegas membela posisi AS atau Israel, maka negara-negara kekuatan menengah lainnya, termasuk di Timur Tengah, jelas akan memiliki persepsi negatif terhadap Seoul,” ujar Jin.
Rapat darurat
Pada 11 Oktober 2023 atau empat hari sejak Hamas melancarkan serangan ke Israel, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengadakan pertemuan darurat yang intinya mengecam serangan dan penyanderaan yang dilakukan Hamas serta meninjau potensi dampak konflik di Gaza terhadap ekonomi, keamanan, dan warga Korea.
Sebelum rapat kabinet darurat, Yoon bertemu dengan pemimpin mayoritas Senat AS Chuck Schumer di Seoul, di mana kedua belah pihak mengutuk serangan Hamas terhadap Israel.
Keduanya juga sepakat bahwa Korea Selatan dan AS harus memainkan peran konstruktif guna memastikan bahwa situasi ini diselesaikan dengan cepat dan damai.
Itu adalah kecaman publik pertama Yoon terhadap Hamas, meskipun para analis juga menunjukkan bahwa presiden Korea Selatan itu belum menyatakan dukungannya kepada Israel secara langsung.
Meskipun Korea Selatan sangat mendukung penyelesaian krisis Gaza secara damai, para pemimpin pemerintah mungkin ragu untuk menyuarakan dukungan langsung kepada Israel, dengan alasan potensi dampaknya terhadap perdagangan dan ekonomi Korea.
Dalam beberapa tahun terakhir, Korea Selatan telah melihat kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai kawasan potensial untuk ekspansi bisnis mereka.
Pada 2022, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi merupakan dua mitra dagang terbesar Korea Selatan. Saudi bahkan menyumbang hampir empatpersen atau sekitar 24 miliar dolar AS dari impor global Korea Selatan.
Ketika konflik Israel-Hamas terus berlanjut, Korea Selatan menyadari adanya perpecahan politik di antara mitra regionalnya.
UAE dilaporkan menjadi negara Arab pertama yang berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sejak konflik dimulai, sementara kepemimpinan Arab Saudi telah menyerukan kecaman keras terhadap Israel, yang serangannya menyebabkan belasan ribu korban sipil tewas di Gaza.